Media Jejaring Sosial dan Internet, Mendekatkan yang Jauh, dan Menjauhkan yang Dekat
OPINI | 09
January 2011
Isu
hoax penutupan Facebook oleh Mark Elliot Zuckerberg ternyata cukup membuat
gempar, tidak saja bagi para pengguna facebook di Indonesia namun juga di
banyak negara lainnya. Ini mungkin mirip kasusnya dengan isu hoax penutupan
jaringan layanan yahoo messenger beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya dibalik
isu tersebut, ada baiknya juga kita melihat dari sisi positifnya penyampaian
alasan yang dibuat dalam hoax facebook itu. Dikatakan dalam isu tersebut bahwa
sang pendiri terpaksa menutup layanan jejaring sosial yang dia bangun karena
mengacaukan kehidupannya dan agar orang membangun kehidupan sosial yang sehat.
Alasan tersebut bukan berarti dibuat-buat, karena sedikit banyak memang
menggambarkan kondisi sosial yang berubah di sekeliling kita. Jika anda pergi
ke mall-mall, di pusat tempat makan atau bangku duduk di dalam mall, coba anda
perhatikan setidaknya dari antara 10 orang pasti ada dua atau tiga orang yang
meski berada dalam satu meja atau satu rombongan yang duduk bersama, terlihat
apatis satu sama lain dan asyik bermain dengan gadget mereka. Dan dua dari tiga
orang itu, dipastikan sedang asyik mengupdate status di jejaring sosial maupun
melihat dan membaca status jejaring sosial sahabatnya. Padahal orang-orang
tersebut pergi dengan orang-orang yang mereka kenal, setidaknya rekan sekerja
atau teman sekolahnya, bukan orang asing yang baru bertemu hari itu juga.
Bahkan yang sangat ironis, pernah didapati di suatu sentra tempat makan,
seorang ibu bersama anak-anaknya saling sibuk sendiri bermain dengan gadget
milik mereka dan dari ketrampilan tangan-tangan mereka, sepertinya sedang asyik
melakukan chatting online, entah dengan fasilitas messenger internet ataupun
messenger gadget tersebut. Sembari becanda, saya dan teman yang sedang asyik
memperhatikan mereka, berseloroh, jangan-jangan mereka sedang asyik melakukan
gossip bersama dalam satu meja namun mengunakan media gadget karena takut
ketahuan, yang akhirnya disambut tawa oleh yang kawan yang lain. Memang semakin
maraknya perkembangan teknologi dan kemajuan jaman serta perkembangan aktifitas
sosial di internet, seringkali menimbulkan ketidakseimbangan kesadaran manusia
untuk dapat memilah-milah interaksi mana yang harus lebih diutamakan dari yang
lainnya. Cukup ironis jika melihat orang lebih asyik mengurus gossip dengan
teman chattingnya ketimbang mengurus anak mereka yang merengek-rengek minta
perhatian. Atau juga orang lebih asyik melakukan update status mengenai
kecelakaan ke jejaring sosial ketimbang menolong korban tabrakan lalu lintas di
depan matanya. Harus disadari oleh para individu itu sendiri, bahwa kecanduan
gadget dan internet adalah tidak baik bagi kesehatan jiwa dan juga dalam kaitan
interaksi dengan lingkungan sosialnya. Seringkali didapati orang lebih senang
marah-marah dan mengomel ataupun mengumpat di internet / jejaring sosial
ketimbang membicarakan masalah mereka secara langsung dengan yang bersangkutan.
Dalam berbagai kasus, bahkan tidak jarang orang ada yang sampai mengumbar
urusan ranjangnya di media jejaring sosial ketimbang membicarakan hal tersebut
secara baik-baik dengan pasangannya. Hal ini jelas sangat tidak baik, karena
fungsi komunikasi bilateral dan hubungan sosial yang sehat menjadi rusak karena
kecanduan terhadap teknologi dan juga penempatan secara salah fungsi teknologi
dalam hidup keseharian, sehingga teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk
mempermudah justru menjadi bumerang yang merusak keseimbangan hidup dan sosial.
Semoga ke depannya kita semua bisa lebih mawas diri dalam memilah-milah tingkat
prioritas pengunaan jejaring sosial dan internet dalam kehidupan kita.
Berdasarkan kasus ini kita dapat merasakan bagaimana media komunikasi dan teknologi yang ada saat ini memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi kehidupan manusia, termasuk kita sebagai murid-murid Allah. Ternyata dalam hal ini media seperti sebuah pisau bermata dua, bisa menjadi alat yang membantu kita dapat mewartakan hal-hal yang baik, tetapi juga dapat merusak kehidupan kita. Ada sebuah pepatah berbunyi , "Sebuah pisau bisa menjadi alat memotong daging, atau sayuran dan buah-buahan tetapi dapat juga untuk membunuh, semua hal akan jadi baik tergantung dengan yang menggunakannya.". Hal itu dapat mengingatkan kita akan tanggungjawab kita untuk menggunakan media dengan baik dan benar, dalam hidup ini agar tidak dapat merugikan diri kita juga merugikan orang lain. Maka pentinglah untuk kita sebagai murid-murid Yesus untuk memiliki sikap kritis, terhadap media, idelogi dan gaya hidup jaman sekarang. Hal itu semata-mata agar kita tidak terjerumus dalam dosa, dan tidak terbawa arus yang menyesatkan. Contoh kasus adalah seperti artikel berikut ini:
KASUS BERPIKIR KRITIS
head-line
Lagi, Mahasiswi Diperkosa dalam Angkot di
Kebayoran Lama
Berita Headline - Dibaca: 82 kali
Minggu, 22 Januari 2012 | 10:19:18 WIB
Berita Headline - Dibaca: 82 kali
Minggu, 22 Januari 2012 | 10:19:18 WIB
batavia.com - Perkosaan di dalam angkutan kota (angkot)
kembali terjadi. Kali ini nasib malang dialami
JM (18) mahasiswi warga Ciledug, yang mengalami tindakan perkosaan di dalam angkot C 01 jurusan Kebayoran Lama-Ciledug. Parahnya lagi, setelah dipaksa melayani nafsu bejatnya, korban dibuang di rel Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Peristiwa ini terjadi Jumat (20/1) lalu sekitar pukul 20.00 WIB, saat itu korban berangkat
dari rumah kosnya untuk berkunjung ke rumah kakaknya di kawasan Pamulang naik angkot C 01. "Kejadiannya tanggal 20 Januari. Sewaktu sampai di kosan, dia cerita telah diperkosa sambil nangis-nangis," kata salah seorang temannya yang enggan menyebutkan namanya saat melapor ke Polres Jakarta Selatan, Minggu (22/1).
Dari penuturan korban, ia menceritakan bahwa ketika baru masuk ke dalam angkot, ada 5 orang lelaki, termasuk seorang supir. Saat itu JM dipukul di bagian kepala sebelah kirinya dan membuat JM jatuh pingsan. Setelah itu korban langsung digagahi dan dibuang di pinggir rel kereta api di kawasan Kebayoran Lama, Jaksel. Dan korban baru sadar pagi hari dan seketika itu langsung pergi dengan menggunakan taksi menuju rumah kosnya. Menurut penuturannya, pria yang berada di dalam angkot sebanyak lima orang. Namun ia tidak bisa memastikan jumlah pria yang menggagahinya karena saat itu ia tidak sadarkan diri
setelah dipukul kepalanya.
Minggu (22/1) ini korban baru memberanikan diri untuk melapor ke polisi terkait apa yang
telah dialaminya. Selanjutnya korban menjalani visum di RS Cipto Mangunkusumo untuk
diperiksa, didampingi oleh aparat Polres Jaksel. "Sebelumnya korban tidak mau lapor masalah ini, karena malu. Setelah dibujuk, akhirnya ia bersedia melapor dan bersedia untuk divisum," tambahnya. Sementara warga sekitar Jalan Baru, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan tidak ada yang mengetahui perihal kasus pemerkosaan diangkutan kota (angkot) yang dialami seorang mahasiswi berinisial JM (18). JM diketahui diturunkan paksa di jalan ini pada Sabtu 21 Januari pagi. Jalan ini juga berdampingan dengan rel kereta api."Saya enggak tahu, orang-orang sini pun enggak ada yang tahu," jelas Anto, warga setempat di Jalan Baru, yang sempat dimintai keterangan oleh pihak kepolisian, Minggu (22/1).
Polisi nampak sibuk melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Kegiatan itu pun menjadi tontonan warga sekitar dan pengguna Jalan Baru dari arah Kebayoran Lama ke Arteri Pondok Indah. Peninjauan TKP disekitar Kebayoran Lama ini untuk melengkapi berkas perkara. Ada beberapa titik yang dijadikan tinjauan pihak kepolisian, yaitu pasar Kebayoran Lama dan Jalan Baru, Kebayoran Lama. o end
JM (18) mahasiswi warga Ciledug, yang mengalami tindakan perkosaan di dalam angkot C 01 jurusan Kebayoran Lama-Ciledug. Parahnya lagi, setelah dipaksa melayani nafsu bejatnya, korban dibuang di rel Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Peristiwa ini terjadi Jumat (20/1) lalu sekitar pukul 20.00 WIB, saat itu korban berangkat
dari rumah kosnya untuk berkunjung ke rumah kakaknya di kawasan Pamulang naik angkot C 01. "Kejadiannya tanggal 20 Januari. Sewaktu sampai di kosan, dia cerita telah diperkosa sambil nangis-nangis," kata salah seorang temannya yang enggan menyebutkan namanya saat melapor ke Polres Jakarta Selatan, Minggu (22/1).
Dari penuturan korban, ia menceritakan bahwa ketika baru masuk ke dalam angkot, ada 5 orang lelaki, termasuk seorang supir. Saat itu JM dipukul di bagian kepala sebelah kirinya dan membuat JM jatuh pingsan. Setelah itu korban langsung digagahi dan dibuang di pinggir rel kereta api di kawasan Kebayoran Lama, Jaksel. Dan korban baru sadar pagi hari dan seketika itu langsung pergi dengan menggunakan taksi menuju rumah kosnya. Menurut penuturannya, pria yang berada di dalam angkot sebanyak lima orang. Namun ia tidak bisa memastikan jumlah pria yang menggagahinya karena saat itu ia tidak sadarkan diri
setelah dipukul kepalanya.
Minggu (22/1) ini korban baru memberanikan diri untuk melapor ke polisi terkait apa yang
telah dialaminya. Selanjutnya korban menjalani visum di RS Cipto Mangunkusumo untuk
diperiksa, didampingi oleh aparat Polres Jaksel. "Sebelumnya korban tidak mau lapor masalah ini, karena malu. Setelah dibujuk, akhirnya ia bersedia melapor dan bersedia untuk divisum," tambahnya. Sementara warga sekitar Jalan Baru, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan tidak ada yang mengetahui perihal kasus pemerkosaan diangkutan kota (angkot) yang dialami seorang mahasiswi berinisial JM (18). JM diketahui diturunkan paksa di jalan ini pada Sabtu 21 Januari pagi. Jalan ini juga berdampingan dengan rel kereta api."Saya enggak tahu, orang-orang sini pun enggak ada yang tahu," jelas Anto, warga setempat di Jalan Baru, yang sempat dimintai keterangan oleh pihak kepolisian, Minggu (22/1).
Polisi nampak sibuk melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP). Kegiatan itu pun menjadi tontonan warga sekitar dan pengguna Jalan Baru dari arah Kebayoran Lama ke Arteri Pondok Indah. Peninjauan TKP disekitar Kebayoran Lama ini untuk melengkapi berkas perkara. Ada beberapa titik yang dijadikan tinjauan pihak kepolisian, yaitu pasar Kebayoran Lama dan Jalan Baru, Kebayoran Lama. o end
hasilnya saat ini adalah :
Polisi: Korban
Perkosaan 'di Angkot D01' Berbohong
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Daerah Metro
Jaya menyatakan JM, 18 tahun, tak benar-benar mengalami pemerkosaan di
Kebayoran Lama. “Karena takut ketahuan keluarga, dia memberikan keterangan
palsu,” kata juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, saat
dikonfimasi Ahad, 29 Januari 2012.
Menurut Rikwanto, mahasiswi kebidanan itu berbohong karena takut telah
melakukan hubungan intim di luar nikah bersama SW, 23 tahun. JM malu ketahuan
keluarganya yang berasal dari Dumai, Riau, karena selama ini dia dikenal gadis
yang tak macam-macam. Meskipun berbohong, depresi JM tak dibuat-buat. Rikwanto
mengatakan kondisi depresinya bukan karena pemerkosaan, melainkan karena
memberi keterangan palsu. Saat ini JM sudah dikembalikan ke keluarganya,
setelah selama beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Polri Kramat Jati.
Awalnya JM mengaku peristiwa itu terjadi saat ia menuju rumah kakaknya di
Pamulang, Tangerang Selatan, Jumat, 20 Januari 2012. Dari tempat kosnya di
Cipulir, gadis itu naik angkot C01 jurusan Ciledug-Kebayoran Lama. Setiba di
halte Kebayoran Lama, JM turun dan akan berganti angkot D01 jurusan Kebayoran
Lama-Ciputat. Saat menunggu di halte, lima laki-laki menggoda JM. Karena takut,
JM berlari ke arah rel kereta api. Tiba-tiba dari belakang dia dipukul dan
pingsan. Keesokan harinya, ketika terbangun, dia merasakan sakit di badan.
Resleting celananya terbuka dan ada ceceran diduga sperma di perut. Saat itu
dia mengaku baru sadar telah diperkosa.
SW memiliki versi cerita lain. Dia dan JM mengadakan pertemuan dan jalan-jalan
pada hari Jumat itu. Karena kemalaman, SW dan JM pergi ke kamar kos teman SW
yang berinisial D di Ciputat. D pergi sehingga SW dan JM hanya berduaan di
kamar kos. Sekitar pukul 24.00, menurut keterangan SW, mereka mulai melakukan
hubungan badan. Hal itu berulang sampai empat kali. Pada pagi hari, SW dan JM
sempat mandi secara bergantian dan sarapan di restoran Padang dekat kamar kos.
Setelah itu, SW mengantarkan JM naik angkutan umum ke arah Kebayoran Lama. JM
pulang ke kamar kos, begitu pula SW.
Ada beberapa keanehan yang ditemukan polisi selain berdasarkan keterangan SW.
Tidak adanya saksi dan bukti di TKP semula, yaitu halte Kebayoran Lama dan rel
kereta api dekat Pasar Kebayoran Lama. Padahal dua tempat tersebut biasanya
ramai orang lalu-lalang. Setelah dilakukan pemeriksaan bukti dan saksi,
ternyata pernyataan SW yang benar. JM bukan diperkosa oleh SW, tapi melakukan
hubungan suka sama suka. Akhirnya JM mengaku bahwa dia berbohong karena malu
dengan keluarganya.
SUNDARI
_________________________________________________________________________________
Dari artikel di atas menjadi sebuah contoh yang dapat membantu kita untuk melatih diri untuk dapat selalu berpikir kritis terhadap semua berita yang muncul dalam media massa. Hal ini juga didukung oleh artikel di bawah ini:
Kritis Itu Baik
|
|
|
altDenpasar - Sikap kritis terhadap penyelenggaran penyiaran dinilai
sangat baik untuk perkembangan penyiaran ke arah yang mumpuni. Sikap kritis
bisa dibentuk salah satunya dengan literasi media.
“Manfaat dari
sikap kritis bisa memberikan perlindungan bagi publik atas isi siaran. Sikap
itu bisa juga menjadi alat ukur lembaga penyiaran terhadap program isi
siarannya. Ini juga bisa menjadi dasar bagi KPI untuk menyusun laporan
berkala prestasi lembaga penyiaran serta dalam penjatuhan sanksi
administratif. Sikap ini juga bisa menjadi data untuk survey pembanding dari
penyelenggaraan rating yang telah ada,” jelas Judhariksawan, anggota KPI
Pusat bidang Kelembagaan, disela-sela berlangsungnya sesi ke lima Training
of Trainer (ToT) Literasi Media KPI, di Hotel Dhyana Pura, Bali, 14 Juli
2011.
Menurut Judhariksawan, sikap kritis dari publik bisa berupa aduan, sanggahan,
ataupun kritik bahkan apresiasi dari masyarakat terhadap penyelenggaraan
penyiaran. “Sikap kritis ini juga menjadi dasar bagi trainer untuk
memberi pelajaran literasi media ke khalayak lain,” jelasnya.
Sikap kritis ini juga menjadi dasar bagitrainer untuk memberi
pelajaran literasi media ke khalayak lain -- Judhariksawan, Anggota KPI Pusat
Namun, lanjut Judha, sikap kritis
harus juga disertai dengan sikap bertanggungjawab seperti tidak berbohong
dengan melengkapi data yang faktual dan akurat saat diadukan ke KPI. “KPI
dapat merahasiakan identitas pelapor jika diminta atau tidak menyerahkan
identitas lengkap kepada pihak lain jika dipandang dapat disalahgunakan atau
berpotensi bahaya kepada pemilik identitas,” tegas Judha.
Hal lain yang juga penting
diperhatikan oleh trainer saat literasi media, kata Judha, soal
keharusan memahami secara detail P3SPS KPI. “Khalayak harus ikut paham P3SPS
karena ini bekaitan dengan proses kritisi mereka saat menyampaikan aduan
ataupun keluhan,” tegasnya mengingatkan. (Red/RG)
|
_________________________________________________________________________________
Pada kenyataannya sikap kritis dan tanggungjawab juga bukan hanya harus dimiliki oleh kita sebagai para pembaca tetapi juga sikap tanggungjawab juga harus dimiliki oleh Media Massa, yang setiap hari memberikan kepada kita banyak informasi, seperti isi dari artikel berikut ini:
Sabtu 27 Aug 2011 12:27 AM Alim
Sumarno, M.Pd
Media massa mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam membangun masyarakat multikultur karena perannya yang sangat potensial
untuk mengangkat opini publik sekaligus sebagai wadah berdialog antarlapisan
masyarakat.
Terkait
dengan isu keragaman budaya (multikulturalisme), peran media massa seperti
pisau bermata dua, berperan positif sekaligus juga berperan negatif. Peran
positif media massa berupa:
(1) kontribusi dalam menyebarluaskan dan memperkuat
kesepahaman antarwarga;
(2) pemahaman terhadap adanya kemajemukan sehingga
melahirkan penghargaan terhadap budaya lain;
(3) sebagai ajang publik dalam
mengaktualisasikan aspirasi yang beragam;
(4) sebagai alat kontrol publik
masyarakat dalam mengendalikan seseorang, kelompok, golongan, atau lembaga dari
perbutan sewenang-wenang,
(5) meningkatkan kesadaran terhadap persoalan sosial,
politik, dan lain-lain di lingkungannya.
Peran negatif media massa dapat berujud sebagai
berikut:
(1) media memiliki dan kekuatan ’penghakiman’ sehingga penyampaian
yang stereotype, bias, dan cenderung imaging yang tidak sepenuhnya
menggambarkan realitas bisa nampak seperti kebenaran yang terbantahkan;
(2)
media memiliki kekuatan untuk menganggap biasa suatu tindakan kekerasan.
Program-program yang menampilkan kekerasan yang berbasiskan etnis, bahasa dan
budaya dapat mendorong dan memperkuat kebencian etnis dan perilaku rasis;
(3)
media memiliki kekuatan untuk memprovokasi berkembangnya perasaan kebencian
melalui penyebutan pelaku atau korban berdasarkan etnis atau kelompok budaya
tertentu;
(4) pemberitaan yang mereduksi fakta sehingga menghasilkan kenyataan
semu (false reality), yang dapat berakibat menguntungkan kepentingan tertentu
dan sekaligus merugikan kepentingan pihak lain.
Selanjutnya, tidak dapat
dipungkiri bahwa media massa memiliki hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi dengan masyarakatnya. Organisasi media massa yang relatif lebih
modern dan mapan membuat posisi tawar media massa menjadi lebih dominan dalam
mempengaruhi khalayak dibandingkan dengan sebaliknya.
Sehubungan dengan hal
tersebut, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan rekomendasi untuk
mengoptimalkan peran media massa dalam mengembangkan masyarakat multikultur,
yaitu melalui pengembangan paradigma civic journalism, atau public journalism,
sebagaimana ditawarkan ahli komunikasi Jay Rosen (1998) atau di Indonesia
mengemuka konsep jurnalisme makna.
Inti paradigma baru pemberitaan media massa
adalah selalu mengedepankan kepentingan bersama dalam setiap liputannya, tanpa
mengabaikan objektivitas pemberitaan itu sendiri. Berbagai cara yang bisa
ditempuh: (1) orientasi pemberitaan media massa lebih ditujukan ke signifikansi
peristiwa dibanding popularitas tokohnya;
(2) media massa harus menggeser pola
berita dari sensasionalitas drama ke utilitas (kemanfaatan) informasi;
(3)
media massa tidak boleh terpukau oleh 'peristiwa', tetapi harus memberi
perhatian kepada 'kejadian';
(4) media massa harus mampu memperkuat visi
sosialnya dengan memfasilitasi publik. Untuk kepentingan ini, media massa
dituntut memberi akses kontrol intern, dengan melibatkan perlunya pengawasan
publik media terhadap yang disajikan;
(5) mendorong pandangan kritis terhadap
media massa, yang memacu gerakan pemantauan media (media watch) di tengah
masyarakat.
Selanjutnya, ditilik dari aspek substansi pesan (content), media
massa diharapkan dapat berpartisipasi dalam membangun masyarakat multikultur
dengan cara sebagai berikut:
Pertama, memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai
egaliterisme, toleransi dalam pluralisme kepada masyarakat. Mudahnya orang atau
kelompok melakukan tindak kekerasan terhadap orang atau kelompok lain,
sesungguhnya diawali ketidaksabaran dalam menerima perbedaan-perbedaan
pandangan ataupun pendapat sosial politik. Demikian pula dengan masih kuatnya sikap-sikap
diskriminatif dan rasialisme dalam masyarakat kita. Hal ini antara lain tidak
dapat dilepaskan dari paradigma kehidupan sosial politik masa sebelum reformasi
yang sering dianggap mencurigai perbedaan pendapat dalam masyarakat. Media
massa dapat berperan dalam memberikan pemahaman terhadap pentingnya membangun
proses kompromi dalam kehidupan masyarakat. Setiap sengketa dan perselisihan
antara kelompok masyarakat dan negara, maupun antar kelompok-kelompok di dalam
masyarakat diharapkan dapat diselesaikan di dalam kerangka proses hukum ataupun
mediasi yang bersifat non-kekerasan.
Kedua, adanya keperluan menanamkan
nilai-nilai solidaritas sosial dalam masyarakat. Perlu ditanamkan bahwa
demokrasi bukan hanya soal kebebasan dan persamaan, melainkan juga solidaritas
sosial. Demikian yang tercakup dalam semboyan awal
demokrasi modern pasca revolusi Perancis (liberte, egalite, freternite).
Kepedulian pada masyarakat miskin dan tersisihkan, misalnya merupakan satu
bentuk solidaritas sosial yang mendukung demokrasi, karena ikut memberdayakan
kekuatan masyarakat sipil. Media massa yang ideal sebaiknya tidak hanya
menyediakan halaman ataupun program acara yang hanya berpusat pada aktualitas
ataupun menyajikan realitas keseharian, apalagi hanya disajikan dengan kurang
memperhatikan nilai-nilai estetika melalui pendekatan yang tidak jarang
cenderung dilebih-lebihkan.
Ketiga, kemampuan “mengajak tanpa menghakimi”
sehingga masyarakat semakin dewasa dan arif dalam menghadapi kemajemukan dalam
masyarakat.
_________________________________________________________________________________
MEDIA
MASSA DAN TANGGUNG JAWAB KEPADA PUBLIK
20 09 2008
I. PENDAHULUAN
Seorang pakar komunikasi senior
Indonesia yang sudah meninggalkan kita, Almarhumah Prof. Dr. Astrid S. Susanto,
mengritik habis kinerja media massa di Indonesia, khususnya kalangan pers dalam
dengar pendapat Komisi I DPR dengan Dewan Pers. Beliau mengatakan bahwa, “Pers
sekarang tak lebih baik dari zaman demokrasi liberal 1950-an yang dirasanya
lebih beretika. Etika Pers sekarang sudah mulai menipis, banyak undang-undang
yang dilanggar pers, masyarakat saja yang malas untuk nuntut” (Andrie, 2002).
Suara demikian tidak hanya disampaikan
oleh seorang pakar komunikasi yang berusaha menilai tanggung jawab pers
khususnya dan media massa pada umumnya. Media sudah melupakan tanggung jawab
sebagai peran media publik untuk mendapatkan informasi dan saluran komunikasi
yang menjunjung nilai-nilai keterbukaan, kejujuran, hormat-menghormati, dan
ketidakberpihakan pada kelompok tertentu. Semua orang, hampir dari seluruh
kalangan masyarakat secara seragam sering mengatakan bahwa pers atau media di
Indonesia sudah sangat kebablasan, terutama dalam mengekspresikan tentang
prinsip kebebasan pers.
Semenjak era reformasi digulirkan,
media massa memasuki era kebasan yang luar biasa. Pemerintah tidak lagi
melakukan regulasi atas media dengan SIUP dan SIT, yang dulunya sangat sakral
untuk didapatkan. Media dapat menuliskan dan menyampaikan apa saja kepada
publik tanpa regulasi sensor. Setiap figur di masyarakat kalau itu memang mau
diberitakan bisa di buka ruang-ruang pribadinya, dari mulai ruang tidur,
halaman rumah, sampai ruang kantor yang sangat privat untuk ukuran konsumsi
publik.
“As long as you can write you can be journalist” Kalimat sindiran itu disampaikan oleh salah seorang anggota
Dewan dari Partai Amanat Nasional untuk menggambarkan pers indonesia yang tidak
bertanggung jawab. Maksudnya, siapapun anda, sejauh bisa menulis dan memiliki saluran media,
maka tulisan anda menjadi ”konsumsi” publik, anda menjadi seorang jurnalis yang
tulisannya akan dibaca oleh orang atau masyarakat. Terlepas dari apakah
informasi yang disampaikan oleh wartawan atau reporter itu, mendidik atau tidak
mendidik, menyampaikan kejujuran atau hasutan, dan mengandung nilai-nilai
keadilan atau keberpihakan.
Gambaran di atas menunjukkan kondisi
krusial yang dihadapi oleh media massa dalam menjalankan fungsinya. Parlemen
yang menggodok seluruh kebijakan untuk melakukan regulasi atas media atau pers
telah memiliki tingkat kemarahan yang tinggi dengan kondisi sekarang. Pers
sangat tidak bertanggung jawab, pers telah kebablasan, dan undang-undang atau
aturan dibuat hanya untuk dilanggar.
Suara dari parlemen memang layak untuk
diperhatikan dalam melihat kondisi media massa, yang berkaitan dengan tanggung
jawab mereka terhadap khalayak. Jika opini serupa di lemparkan kepada khalayak
untuk ditanggapi, mungkin akan mendapatkan suara pesersetujuan dengan jumlah
suara mayoritas. Mengapa demikian, nampaknya kita mulai bosan dengan program
atau acara televisi yang seragam hanya sekedar melihat rating yang tinggi pada
stasiun lain, dengan tidak mengindahkan daya pikir dan rasionalitas publik.
Setiap hari disuguhi isu, gosip, dan intrik kaum elit dan selebritis yang tidak
pernah habis, dunia alam ghaib yang seolah-olah dapat ditangkap oleh panca
indera, serta konflik kepentingan antar kelompok penguasa dengan drama parlemen
yang disiarkan secara langsung melalui media.
Demikian pula dengan media massa cetak,
seperti surat kabar yang mulai tidak mengindahkan etika dan perasaan pihak lain
dalam melaporkan sesuatu. Hal ini seringkali menyulut permusuhan di
tengah-tengah publik, bahkan tidak jarang merugikan surat kabar atau majalah
itu sendiri, misalnya pihak yang merasa dirugikan menyerang dan menghancurkan
kantor dari media yang bersangkutan seperti yang terjadi pada penyerangan
kantor Tempo dalam kasus Tommy Winata yang telah lewat.
Menurut Lesmana, dalam tulisannya
kondisi tanggung jawab pers dan media massa di Indonesia mendekati atau
menyerupai pers liberal. ”Print it, and be damned”, beritakan dulu,
urusan belakangan. Sikap demikian mencerminkan sikap mengentengkan
permasalahan, etika dan hukum yang berlaku atau disebut dengan reckless
disregard.
Salah satu bentuk yang sering terjadi
dengan kasus demikian misalnya, kebiasan pihak media untuk mengabaikan perasaan
objek pemberitaan dengan akibat sangsi sosial setelah pemberitaan. Dalam kasus
pemboman di Bali misalnya seorang jenderal diduga terlibat. Tanpa melakukan recheck
kepada jenderal yang bersangkutan berbagai media menyajikan berita itu, hanya
dengan dugaan jenderal tersebut berada di Bali pada saat hari H pemboman.
Akibatnya, keluarga korban mengalami shock dan salah satu anggota keluarganya
jatuh sakit dan meninggal.
Sikap reckless disregard
memperlihatkan gambaran ketidakmampuan media untuk bertanggung jawab atas peran
dan fungsinya dalam menjujung tinggi nilai-nilai kearifan, kejujuran, dan
ketidakberpihakan. Seyogyanya memerankan diri sebagai pendidik, pemberi
informasi yang jujur, serta memeliharan kearifan budaya masyarakat.
Bentuk lain dari sikap reckless
diregard media di Indonesia adalah kebiasaan mendongkrak atau mem-blow up
berita tanpa menunjukkan fakta yang sebenarnya. Dalam hal ini media sering
melansir berita bohong yang sama sekali tidak didukung oleh berita akurat.
Dalam hal ini fabrikasi wartawan atau reporter terhadap peristiwa atau kejadian
untuk meningkatkan daya tarik berita. Sebagai contoh kebiasaan menggunakan
kalimat, ”menurut sumber yang layak dipercaya” atau menurut sumber yang tidak
mau disebut namanya/identitasnya”, adalah bentuk dari lemahnya
pertanggungjawaban terhadap fakta yang disajikan. Hal ini akan memunculkan
kebiasaan seolah-olah fakta yang tersaji adalah benar walaupun siapa yang dapat
dimintai keterangan atau klarifikasi atas fakta itu. Selanjutnya, bagi para
wartawan yang ”nakal” kebiasaan seperti ini dapat dipakai sebagai bentuk
rekayasa berita.
Hal lain yang menyebabkan kurangnya
tanggung jawab media dalam melakukan pemberitaan pada masyarakat adalah,
lemahnya penindakan hukum atas kesalahan atau kecerobohan yang dilakukan oleh
oknum wartawan atau reporter. Bukti-bukti bahwa media telah melakukan
pelanggaran dalam berbagai bentuk seperti penyajian fitnah, vonis oleh media (trial
by the press), penyajian berita kekerasan yang berlebihan, dan pornografi
baik secara verbal maupun visual sulit sekali dibuktikan secara hukum.
Perundang-undangan yang ada, UU No. 40 tahun 1999 dan
Undang-undang Penyiaran tahun 2004, tidak mengatur secara tegas tentang delik
penghinaan, pencemaran nama baik, pemberitaan kekerasan dan batasan-batasan
tentang pornografi. Dalam UU Pers versi orde reformasi wartawan indonesia hanya
bisa melakukan tiga hal kesalahan yaitu melanggar norma agama, norma susial,
dan asa praduga tak bersalah.
II. TANGGUNG JAWAB MEDIA, TELUSURAN
KONSEPTUAL-TEORITIS
Jika ditelusuri lebih jauh konsep
tanggung jawab sosial media massa, asumsi dasarnya dikerangkai atau
didefnisikan dari pemikiran rasionalisme tentang manusia. Manusia adalah ”zoon
logon echon” menurut Aristoteles, yakni mahluk hidup yang mempunyai logos,
sebagai sarana mencari dasar kenyataan (kebenaran). Selanjutnya Thomas Aquinas
menyebutkan manusia sebagai ”Animale Rationale”, mahluk yang berfikir.
Segala sesuatu yang bersifat manusiawi hanya dapat disebut manusiawi sejauh
yang dihasilkan oleh dirinya berdasarkan fikiran.
Melalui fikirannya manusia dapat
mengatur hidupnya selaras dengan kaidah-kaidah yang keahliannya dapat diuji
sendiri (self evident). Melalui dasar rasio manusia akan mengetahui
dirinya sendiri serta dunianya.
Dari akar filsafat resionalisme
tersebut akhirnya dapat dikembangkan dalam menuntun tanggung jawab perilaku
komunikasi manusia, dari lingkungan terkecil sampai terbesar seperti negara.
Termasuk dalam hal ini upaya mengembangkan sistem komunikasi. Melalui kemampuan
rasionya itu manusi akan berfikir tentang perbuatan dan akibat, hak dan
kewajiban, serta pemilihan peran dan tanggung jawabnya.
Dengan berbekal rasionya, manusia akan
mengembangkan persepsi untuk membedakan mana hal yang bermanfaat dan mana yang
tidak bermanfaat. Dengan demikian, bekal rasio yang dimilikinya akan
bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatannya.
Dalam membangun sistem komunikasi
manusia bertanggung jawab atas perilaku, kelembagaan, kebijakan komunikasnya.
Oleh karena itu self regulation dan self censorship sebagai upaya self
controlled atas komunikasi yang dilakukan juga berlaku dalam pengelolaan media.
Konsep tanggung jawab media atau media
responsibility selalu digandengkan dengan social, sehingga menjadi social
responsibility media, khususnya yang telah melahirkan empat sistem pers, Four
Theories of the Press yang dikembangkan Siebert, Peterson, dan Schramm.
Menurut Severin and Tankard, Empat
Teori Sistem Pers tersebut merupakan teori normatif (normative theory).
Normatif teori adalah teori yang dikembangkan berdasarkan hasil observasi dari
para peneliti, tanpa melakukan pengujian atau eksperimen tarhadap teori yang
dikembangkan. Keempat teori normatif tersebut
adalah; Authoritarian Theory, Libertarian Theory, Social Responsibility
Theory, dan Soviet-Totalitarian Theory.
Dalam sudut pandang keempat teori
tersebut, media massa atau pers memiliki beban tanggung jawab dan fungsi
pelayanan yang berbeda-beda. Keempat teori tersebut menggambarkan tarik menarik
di antara kepentingan pihak penguasa terhadap pers/media dengan kepentingan
pers atau media itu sendiri.
Teori Otoriter yang berkembang pada
abad 16-17 di kerajaan Inggris, merupakan sistem pengendalian media atau pers
oleh kerajaan. Pers harus mengabdi kepada kepentingan kerajaan dan bertanggung
jawab pada kerajaan atau pemerintahan. Oleh karena itu media massa tidak
dibenarkan untuk melakukan kritik terhadap mesin-mesin politik atau pemilik
kekuasaan.
Sementara itu di pihak lain, media
massa yang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kepentingannya muncul dalam
Teori Libertarian yang berkembang di Amerika Serikat dan sekitarnya. Media
massa memiliki hak-hak yang luas dan berperan sebagai kelompok dengan
keleluasaan yang istimewa dalam menjalankan peran sebagai ponyampai informasi,
penghibur, dan yang ebih penting lagi melakukan kontrol terhadap kepentingan
atau kebijakan pemerintah.
Media menurut teori ini hanya
bertanggung jawab kepada pasar atau market, karena mereka hidup dan dihidupi
oleh pasar. Namun demikian media tetap mengabdi kepada nilai-nilai kebenaran
dan kejujuran yang juga merupakan bentuk upaya kontrol secara mandiri atau self-righting
process of truth.
Selanjutnya dalam tanggung jawab media
menurut Teori Soviet Totalitarian adalah mengabdi kepada keberhasilan dan
keberlanjutan sistem sosialis Soviet terutama pada kepentingan partai politik
komunis. Sistem ini berkembang di negara Uni Soviet sebelum pecah, dan
negara-negara komunis baik di Asia maupun Eropa Timur. Media menjadi abdi atau
anggota loyal dan ortodoks dari partai komunis.
Sedangkan sistem pers yang sebenarnya
menunjukkan konsep tanggung jawab media terdapat dalam sistem pers atau sietam
media Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility). Konsep tanggung
jawab media atau pers senantiasa digandengkan dengan kata sosial yang berupaya
menunjukkan pada suatu konsep tentang kewajiban media untuk mengabdi terhadap
kepentingan masyarakat.
Menurut Siebert, Peterson dan Schramm dalam Severin and
Tankard, 1992), perbedaan esensial media dalam konsep atau teori tanggung jawab
sosial adalah, ”media must assume obligation of social responsibility; and
if they do not, someone must see they do.” Selanjutnya mereka menyatakan bahwa,
media diawasi oleh opini komunitas, tindakan konsumen (consumer action),
etika profesional, dan, dalam kasus media siaran oleh badan pengawas pemerintah
karena keterbatasan teknis dalam jumlah saluran dan ketersediaan frekuensi.
Namun demikian, tanggung jawab media
dalam teori tanggung jawab sosial sulit untuk dioperasionalkan, akibat rumitnya
tarik ulur antara kepentingan pemerintah dan pemilik atau para jurnalis yang
bergerak dalam media bersangkutan. Oleh karena itu, sistem ini berada di ambang
kesemuan antara sistem otoriter dan libertarian. Maksudnya, jika pemerintah
ikut campur dalam merumuskan fungsi, tugas dan wewenang media sebagai ekspresi
tanggung jawabnya, maka sistem ini menyerupai otoritarian. Sebaliknya, jika
para jurnalis dan media itu sendiri yang merumuskannya secara mandiri, maka
sistem itu bergerak ke arah liberatarian.
Menurut Denis McQuaill (1987), dalam
kerangka teoritis pengertian tanggung jawab untuk media, merupakan perkawinan
dari konsep-konsep tentang; prinsip kebebasan dan pilihan individual, prinsip
kebebasan media, dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat. Nampaknya
sulit untuk menerapkan tarik-menarik kepentingan yang harus dijalankan sebagai
tanggung jawab media, tetapi secara teoritis, Teori ini memiliki dua kerangka,
yakni;
- Pengembangan
lembaga publik, tetapi mandiri, untuk mengelola siaran, pengembangan mana
pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan cakupan dan
kekuatan politis dari tanggung jawab sosial.
- Pengembangan
profesionalisme lebih lanjut sebagai sarana untuk mencapai standar prestasi
yang lebih tinggi, pada saat yang sama mempertahankan pengaturan oleh
media sendiri. Menurut Smith dalam Mc Quail (1991), wujud pengembangan
profesionalisme dalam sebuh negara diperlihatkan dari adanya instrumen
pengawasan lembaga independen dan aturan yang berlaku ajeg dan adil
seperti; kode etik jurnalistik, pengaturan periklanan, peraturan
antimonopoli, pembentukan dewan pers, tinjauan berkala oleh komisi
pengkajian, pengkajian perlementer, dan sistem subsidi pers.
Dalam kerangka teori tanggung jawab sosial, menurut Denis
McQuail (1991) makna tanggung jawab media massa di batasi pada:
- Media
menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat.
- Kewajiban
media terutama dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau
profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan
keseimbangan.
- Dalam
menerima dan menerapkan kewajiban tersebut, media seyogyanya dapat
mengatur diri sendiri di dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
- Media
seyogyanya menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan,
kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan terhadap minoritas
etnik atau agama.
- Media
secara keseluruhan hendaknya bersifat pluralis dan mencerminkan
kebhinekaan masyarakatnya, dengan membe-rikan kesempatan yang sama untuk
mengungkapkan berbagai sudut pandang dan hak untuk menjawab.
- Masyarakat
dan publik, berdasarkan prinsip yang disebut pertama, memiliki hak untuk
mengharapkan standar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan
untuk mengamankan kepentingan umum.
- Wartawan
dan media profesional seyogyanya bertanggung jawab terhadap masyarakat dan
juga kepada majikan serta pasar.
Dalam menjelaskan tanggung jawab media
salah satu sudut pandang yang dikemukakan oleh pembaharu intelektual muslim
pada era reformasi Islam di Iran, menyatakan bahwa media massa pada
negara-negara Islam yang sedang berkembang memiliki tanggung jawab berbeda
dengan negara-negara Barat pada umumnya.
Kunci poko pemikiran Aytullah Al-Uzhman
Ali Khamanei (2004) menyatkan bahwa, tanggung jawab sosial media di samping
membangun masyarakatnya juga memerangi propaganda-propaganda pers barat.
Tanggung jawab utama media massa adalah mengatur dan memberi petunjuk
pemikiran, kebudayaan, akhlak dan tingkah laku kepada masyarakat guna membenahi
dan menjauhkan pemikiran, kebudayaan, dan akhlak mereka dari pencemaran.
Menurut Ali Khamanei tujuan sebuah media massa yang memiliki komitmen dan
tanggung jawab, sangat berbeda dengan tujuan sebuah media yang tugasnya
mendukung kepentingan illegal pemiliknya. Media sebaliknya harus mampu
meningkatkan taraf pengetahuan dan pandangan agama masyarakat, menguatkan akar
keyakinan keagamaan, serta menyelamatkan opini umum dari pengaruh serangan
budaya musuh yang merusak.
Dari rangkuman tanggung jawab media tersebut, dapat dijabarkan sebagai
berikut:
- Media
massa, dengan cara dan berbagai metode persuasi yang positif, harus aktif
membina dan menghidupkan nilai-nilai mulia pada pribadi-pribadi
masyarakat, seperti perhatian pada etika, senang bekerja, rasa tanggung
jawab, rasa percaya diri, serta keberanian jiwa dan raga.
- Media
harus mampu mendukung penguasaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kemajuan ilmu pengetahuan akan meningkatkan tekhnologi, dan hal ini dengan
sendiri akan memajukan taraf hidup manusia sekaligus memberikan kebaikan
kepada negara. Konsekwensinya, di dalam negeri, terdapat berbagai
aktivitas yang positif. Karena itu, kemajuan dan maraknya Ilmu pengetahuan
juga menjadi salah satu tanggung jawab terpenting media-media massa ini.
- Selanjutnya
media bertanggung jawab dalam menciptakan tempat-tempat atau wahana
rekreasi dan permainan penting bagi masyarakat. sebuah media massa yang
baik haruslah dapat menciptakan kegairahan dan kegembiraan yang sehat
dalam masyarakat.
- Keadilan
sosial juga merupakan point-point yang harus digarap oleh media massa
untuk membangun komitmen dan menjunjung peradaban. Media harus mengajarkan
kepada orang miskin untuk meraih sifat mulia dan menghilangkan perasaan
rendah diri. Sedangkan kepada orang-orang kaya, media harus mampu mengajak
untuk membantu fakir miskin.
- Dalam
membangun perhatian masyarakat, media harus melakukannya secara
konstruktif dan positif. Misalnya tidak melakukan paksaan.
- Meyakinkan
khalayak bahwa pesan yang disajikan bersifat ilmiah atau mengedepankan
rasio/logikan dan tidak membodohi mereka. Oleh karena itu riset adalah
pekerjaan yang sangat penting dalam penyajian pesan oleh media. Pekerjaan
yang didahului oleh riset atau dikerjakan atas dasar ilmu pengetahuan
selalu memiliki kelebihan dan sisi menarik.
- Media
tidak menyajikan program atau pesan yang seolah-olah mengedepankan seni,
namun di lain pihak merendahkan martabat kemanusiaanya itu sendiri. Seni
dalam media harus disajikan secara agung dan tidak menipu khalayak.
III. PENUTUP
Perbandingan kondisi yang ada tentang media massa di Indonesia dan kajian
konseptual, menunjukkan sebuah kesenjangan yang nyata. Pers dan media Indonesia
belum mampu menunjukkan profesionalisme peran dan tanggung jawabnya. Hal ini
bisa dibuktikan dengan komentar atau suara dari parlemen dan komentar
masyarakat.
Namun demikian tidak sepenuhnya pihak media massa atau pers sendiri yang
disudutkan. Kondisi demikian di antaranya dipicu oleh kondisi internal pers
atau media itu sendiri. Salah satu hal yang dibicarakan misalnya rendahnya
tingkat pendidikan SDM media khususnya wartawan, rendahnya ngkat pendapatan
atau gaji wartawan atau awak media, yang menyebabkan mereka tidak mampu
menghadapi tuntutan kebutuhan dasar mereka. Selanjutnya lemahnya pengawasan dan
kontrol masyarakat atas isi media, seolah-olah apa yang disajikan oleh media
adalah benar atau bisa diterima.
Daftar Pustaka
Khamenei, Ayatullah Al-Uzhman Sayyid Ali, ”Karakteristik dan Strategi Media
Terpacaya, Perspektif, www.irib.ir, 2005.
Andrie, Taufik, “Media Kepala Batu”, Pantau, www.pantau.or.id, 2005.
Lesmana, Tjipta,
”Kebebasan dan Tanggung Jawab Pers Harus Berimbang, Sinar Harapan, www.sinarharapan.co.id, 2005.
Littlejoh, Stephen
W., Theories of Human Communication, California: Wadsworth, 1989.
McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Jakarta: Erlangga, 1991.
Severin, Werner J.,
dan James W. Tankard Jr., Communication Theories: Origins, Methodes, and
Uses in the Mass Media, New York: Longman, 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar